Monday, June 9, 2008
MENGAPA PERKAWINAN GAGAL ?!
Labels:
Marriage
Ibu saya adalah seorang yang sangat baik, sejak kecil, saya melihatnya
dengan begitu gigih menjaga keutuhan keluarga. Ia selalu bangun dini hari,
memasak bubur yang panas untuk ayah, karena lambung ayah tidak baik, pagi
hari hanya bisa makan bubur.
Setelah itu, masih harus memasak sepanci nasi untuk anak-anak, karena
anak-anak sedang dalam masa pertumbuhan, perlu makan nasi, dengan begitu
baru tidak akan lapar seharian di sekolah.
Setiap sore, ibu selalu membungkukkan badan menyikat panci, setiap panci di
rumah kami bisa dijadikan cermin, tidak ada noda sedikit pun.
Menjelang malam, dengan giat ibu membersihkan lantai, mengepel seinci demi
seinci, lantai di rumah tampak lebih bersih dibanding sisi tempat tidur
orang lain, tiada debu sedikit pun meski berjalan dengan kaki telanjang.
Ibu saya adalah seorang wanita yang sangat rajin. Namun, di mata ayahku, ia
(ibu) bukan pasangan yang baik. Dalam proses pertumbuhan saya, tidak hanya
sekali saja ayah selalu menyatakan kesepiannya dalam perkawinan, tidak
memahaminya.
Ayah saya adalah seorang laki-laki yang bertanggung jawab. Ia tidak
merokok, tidak minum-minuman keras, serius dalam pekerjaan, setiap hari
berangkat kerja tepat waktu, bahkan saat libur juga masih mengatur jadwal
sekolah anak-anak, mengatur waktu istrirahat anak-anak, ia adalah seorang
ayah yang penuh tanggung jawab, mendorong anak-anak untuk berprestasi dalam
pelajaran. Ia suka main catur, suka larut dalam dunia buku-buku kuno.
Ayah saya adalah seoang laki-laki yang baik, di mata anak-anak, ia maha
besar seperti langit, menjaga kami, melindungi kami dan mendidik kami.
Hanya saja, di mata ibuku, ia juga bukan seorang pasangan yang baik, dalam
proses pertumbuhan saya, kerap kali saya melihat ibu menangis terisak
secara diam-diam di sudut halaman.
Ayah menyatakannya dengan kata-kata, sedang ibu dengan aksi, menyatakan
kepedihan yang dijalani dalam perkawinan.
Dalam proses pertumbuhan, aku melihat juga mendengar ketidakberdayaan dalam
perkawinan ayah dan ibu, sekaligus merasakan betapa baiknya mereka, dan
mereka layak mendapatkan sebuah perkawinan yang baik. Sayangnya, dalam
masa-masa keberadaan ayah di dunia, kehidupan perkawinan mereka lalui dalam
kegagalan, sedangkan aku, juga tumbuh dalam kebingungan, dan aku bertanya
pada diriku sendiri : Dua orang yang baik mengapa tidak diiringi dengan
perkawinan yang bahagia?
Pengorbanan yang dianggap benar.
Setelah dewasa, saya akhirnya memasuki usia perkawinan, dan secara perlahan
-lahan saya pun mengetahui akan jawaban ini.
Di masa awal perkawinan, saya juga sama seperti ibu, berusaha menjaga
keutuhan keluarga, menyikat panci dan membersihkan lantai, dengan
sungguh-sungguh berusaha memelihara perkawinan sendiri. Anehnya, saya tidak
merasa bahagia ; dan suamiku sendiri, sepertinya juga tidak bahagia. Saya
merenung, mungkin lantai kurang bersih, masakan tidak enak, lalu, dengan
giat saya membersihkan lantai lagi, dan memasak dengan sepenuh hati. Namun,
rasanya, kami berdua tetap saja tidak bahagia.
Hingga suatu hari, ketika saya sedang sibuk membersihkan lantai, suami saya
berkata : "Istriku, temani aku sejenak mendengar alunan musik!"
Dengan mimik tidak senang saya berkata : "Apa tidak melihat masih ada
separoh lantai lagi yang belum dipel?"
Begitu kata-kata ini terlontar, saya pun termenung, kata-kata yang sangat
tidak asing di telinga, dalam perkawinan ayah dan ibu saya, ibu juga kerap
berkata begitu sama ayah. Saya sedang mempertunjukkan kembali perkawinan
ayah dan ibu, sekaligus mengulang kembali ketidakbahagiaan dalam perkwinan
mereka. Ada beberapa kesadaran muncul dalam hati saya.
Yang kamu inginkan?
Saya hentikan sejenak pekerjaan saya, lalu memandang suamiku, dan teringat
akan ayah saya... Ia selalu tidak mendapatkan pasangan yang dia inginkan
dalam perkawinannya, Waktu ibu menyikat panci lebih lama daripada
menemaninya. Terus menerus mengerjakan urusan rumah tangga, adalah cara ibu
dalam mempertahankan perkawinan, ia memberi ayah sebuah rumah yang bersih,
namun, jarang menemaninya, sibuk mengurus rumah, ia berusaha mencintai ayah
dengan caranya, dan cara ini adalah mengerjakan urusan rumah tangga.
Dan aku, aku juga menggunakan caraku berusaha mencintai suamiku. Cara saya
juga sama seperti ibu, perkawinan saya sepertinya tengah melangkah ke dalam
sebuah cerita, dua orang yang baik mengapa tidak diiringi dengan perkawinan
yang bahagia. Kesadaran saya membuat saya membuat keputusan (pilihan) yang
sama. Saya hentikan sejenak pekerjaan saya, lalu duduk di sisi suami,
menemaninya mendengar musik, dan dari kejauhan, saat memandangi kain pel di
atas lantai seperti menatapi nasib ibu.
Saya bertanya pada suamiku : "Apa yang kau butuhkan?"
"Aku membutuhkanmu untuk menemaniku mendengar musik, rumah kotor sedikit
tidak apa-apalah, nanti saya carikan pembantu untukmu, dengan begitu kau
bisa menemaniku," ujar suamiku.
"Saya kira kamu perlu rumah yang bersih, ada yang memasak untukmu, ada yang
mencuci pakianmu.... ," dan saya mengatakan sekaligus serentetan hal-hal
yang dibutuhkannya.
"Semua itu tidak pentinglah," ujar suamiku. "Yang paling kuharapkan adalah
kau bisa lebih sering menemaniku."
Ternyata sia-sia semua pekerjaan yang saya lakukan, hasilnya benar-benar
membuat saya terkejut. Kami meneruskan menikamti kebutuhan masing-masing,
dan baru saya sadari ternyata dia juga telah banyak melakukan pekerjaan
yang sia-sia, kami memiliki cara masing-masing bagaimana mencintai, namun,
bukannya cara pihak kedua.
Jalan kebahagiaan
Sejak itu, saya menderetkan sebuah daftar kebutuhan suami, dan meletakkanya
di atas meja buku, Begitu juga dengan suamiku, dia juga menderetkan sebuah
daftar kebutuhanku. Puluhan kebutuhan yang panjang lebar dan jelas, seperti
misalnya, waktu senggang menemani pihak kedua mendengar musik, saling
memeluk kalau sempat, setiap pagi memberi sentuhan selamat jalan bila
berangkat.
Beberapa hal cukup mudah dilaksanakan, tapi ada juga yang cukup sulit,
misalnya, "Dengarkan aku, jangan memberi komentar." Ini adalah kebutuhan
suami. Kalau saya memberinya usul, dia bilang akan merasa dirinya akan
tampak seperti orang bodoh. Menurutku, ini benar-benar masalah gengsi
laki-laki.
Saya juga meniru suami tidak memberikan usul, kecuali dia bertanya pada
saya, kalau tidak saya hanya boleh mendengar dengan serius, menurut sampai
tuntas, demikian juga ketika salah jalan.
Bagi saya ini benar-benar sebuah jalan yang sulit dipelajari, namun, jauh
lebih santai daripada mengepel, dan dalam kepuasan kebutuhan kami ini,
perkawinan yang kami jalani juga kian hari semakin penuh daya hidup.
Saat saya lelah, saya memilih beberapa hal yang gampang dikerjakan,
misalnya menyetel musik ringan, dan kalau lagi segar bugar merancang
perjalanan keluar kota. Menariknya, pergi ke taman flora adalah hal bersama
dan kebutuhan kami, setiap ada pertikaian, selalu pergi ke taman flora, dan
selalu bisa menghibur gejolak hati masing-masing. Sebenarnya, kami saling
mengenal dan mencintai juga dikarenakan kesukaan kami pada taman flora,
lalu bersama kita menapak ke tirai merah perkawinan, kembali ke taman bisa
kembali ke dalam suasana hati yang saling mencintai bertahun-tahun silam.
Bertanya pada pihak kedua : "Apa yang kau inginkan?" Kata-kata ini telah
menghidupkan sebuah jalan kebahagiaan lain dalam perkawinan. Keduanya
akhirnya melangkah ke jalan bahagia.
Kini, saya tahu kenapa perkawinan ayah ibu tidak bisa bahagia, mereka
terlalu bersikeras menggunakan cara sendiri dalam mencintai pihak kedua,
bukan mencintai pasangannya dengan cara pihak kedua. Diri sendiri lelahnya
setengah mati, namun, pihak kedua tidak dapat merasakannya, akhirnya ketika
menghadapi penantian perkawinan, hati ini juga sudah kecewa dan hancur.
Karena Tuhan telah menciptakan perkawinan, maka menurut saya, setiap orang
pantas dan layak memiliki sebuah perkawinan yang bahagia, asalkan cara yang
kita pakai itu tepat, menjadi orang yang dibutuhkan pihak kedua! Bukannya
memberi atas keinginan kita sendiri, perkawinan yang baik, pasti dapat
diharapkan.
Ditulis oleh Isak Rickyanto
Posted by
Ivonne Suwandi
at
11:45 PM
Subscribe to:
Post Comments (Atom)

No comments:
Post a Comment